Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  



“INI TUGAS MULIA”

Naskah: Willy/Ari T/Dyatmika
Foto: Willy/Ari T/Dyatmika

Mereka rela menempuh jarak yang jauh serta meninggalkan keluarga dan pekerjaannya dalam waktu yang tidak sebentar. Namun, kini ada juga beberapa warga Aceh yang memakai seragam putih abu-abu, menjadi relawan Tzu Chi.

Sebuah bencana yang dialami seseorang dapat menimbulkan simpati orang lain. Dunia pun memberikan simpati pada Aceh. Orang-orang pun seperti saling berlomba menunjukkan rasa simpatinya.

Dr. Abdul Khoja, Alkausar, dan Safril Effendy adalah tiga sosok diantara para relawan Tzu Chi yang mengabdi di Aceh. Kisah mereka hanya salah satu dari kisah para relawan di Aceh yang masing-masing memiliki kisah menarik.

 

Dr. Abdul Khoja, Meninggalkan Keluarga
Meulaboh, 4 Maret 2005, matahari belum terlalu tinggi, sebagian orang masih terbuai dalam mimpinya, namun ada seorang lelaki muda yang sudah memulai aktivitasnya. Ia adalah Dr. Abdul Khoja. Seperti biasa, ia memulai paginya dengan mencuci pakaian dan menjemurnya. Selesai itu, ia melakukan senam ringan agar dapat menjaga kebugaran tubuhnya. Ini sesuai dengan tuntutan profesinya di klinik gratis Tzu Chi yang harus melayani puluhan pasien setiap harinya. Stamina harus benar-benar prima.

Dokter yang baru saja dikaruniai seorang putra yang lucu ini dilahirkan di Bima, NTT, 13 Mei 1972. Baginya, meninggalkan keluarga dalam kurun waktu yang cukup lama adalah sesuatu yang tidak mudah, namun tuntutan profesi dan panggilan batin membuatnya mengesampingkan sementara kepentingan pribadinya. “Saya yakin semuanya akan baik-baik saja, apalagi tugas yang saya emban bukanlah tugas biasa, melainkan tugas mulia untuk menolong orang-orang yang menderita karena bencana alam,” ujarnya.

Setiap hari, ia harus menangani sekitar 80 pasien. Semua itu ia jalani dengan gembira dan dengan sabar ia mendengarkan keluhan dari pasien-pasiennya. Di sela-sela kesibukan, ia tidak melupakan kewajiban sebagai seorang Muslim untuk menjalankan sholat. “Biar bagaimanapun saya masih membutuhkan siraman rohani dan bimbingan dari Yang Di Atas,” ia menutup pembicaraan.

Alkausar, Gadis Pendiam yang Penuh Semangat
Alkausar, demikian nama gadis kelahiran Terangon, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, 22 tahun yang lalu ini. Meski pembawaannya agak pendiam, ia adalah salah satu relawan lokal Aceh yang aktif terlibat mendukung aktivitas Tzu Chi di Aceh selama kurang lebih 3 bulan terakhir ini.

“Awalnya saya nggak punya kegiatan karena kemarin setelah tsunami kuliah agak ditunda-tunda, karena banyak dosen yang meninggal dan aktivitas di kampus kacau,” katanya bercerita. Ia mengenal Tzu Chi dari temannya, Igustriana. Kebetulan pada saat itu Tzu Chi membutuhkan relawan untuk membantu pendataan pengungsi yang bersedia dipindahkan dari kamp pengungsi ke tenda Tzu Chi.

Dengan melibatkan relawan lokal, penyampaian informasi tentang apa yang akan dilakukan Tzu Chi menjadi lebih mudah, apalagi saat menemui pengungsi yang lebih mampu memahami bahasa daerah Aceh ketimbang bahasa Indonesia.

Kausar yang saat ini hampir menamatkan kuliahnya di jurusan Sastra Inggris tersebut mau bergabung dengan Tzu Chi karena rasa bersyukur bahwa ia dan juga keluarganya luput dari bencana tsunami. “Mungkin dari rasa bersyukur karena keluarga saya jauh dari sini, di Blangkeujeren, jadi mereka tidak kena tsunami. Saya pun hanya kena sedikit yang mana saya kos di Peuniti. Ketinggian air cuma 1 meter. Alhamdullilah tidak kena tsunami. Jadi saya ingin sekali menolong saudara-saudara saya yang terkena tsunami yang nggak punya rumah lagi,” kata Kausar setengah tersipu.

Setiap bertugas, di tangannya tak pernah lepas lembar-lembar data pengungsi, formulir calon penghuni, serta data para warga penghuni tenda Tzu Chi di Jantho, karena ia bertanggung jawab di bagian pendataan. “Mengurus pengungsi yang beraneka ragam, senang ada juga, agak jengkel ada juga. Karena kegiatannya begitu penuh sedangkan relawannya cuma beberapa orang, kadang-kadang kami kerja sampai jam 10 malam,” kata Kausar. Suka dan duka mengiringinya selama ia bergabung dengan Tzu Chi, namun karena didorong oleh rasa ingin membantu saudara-saudaranya sesama orang Aceh, ia tetap tekun menjalankan tugasnya. Semua yang dilakukannya memang tidak berakhir dengan sia-sia, perlahan tapi pasti Kausar dapat menyaksikan hasil keringatnya dan teman-temannya. “Saya senang karena membantu saudara-saudara saya yang kemarin tidak punya tempat tinggal tetap. Ini udah sangat layak dihuni daripada di tenda-tenda lain,” ungkapnya.

Niat tulusnya membantu tidak tanggung-tanggung. Kalau mungkin terus dibutuhkan ia ingin menjadi relawan Tzu Chi. Sebuah ketulusan yang patut diberi tepuk tangan sebagai tanda kebanggaan tentunya. “Insya Allah, selama saudara kita masih membutuhkan kita. Jadi kalau bisa, ya, selamanya jadi relawan,” katanya dengan mantap.

Harapan Safril Effendy Tak Pernah Padam

Tanggal 10 April 2005 dipilih menjadi peringatan 100 hari terjadinya bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara. Di masjid besar Baiturrahman, Banda Aceh, sebuah acara doa bersama digelar untuk para korban. Suasana haru mewarnai, tidak sedikit sanak keluarga korban menahan isak tangis mengingat hari naas itu. Tak perlu jauh-jauh mencari, orang-orang yang membutuhkan perhatian kita seringkali telah hadir di halaman rumah kita sendiri.

Salah satunya adalah Pak Pen, begitu ia biasa disapa oleh relawan Tzu Chi. Sejak Maret 2005, Safril Effendy memulai kesibukannya sebagai sopir yang setia mengantar relawan Tzu Chi yang bertugas di Banda Aceh. Setiap pagi ia berangkat dari Klinik Yayasan Kasih Mama di Simpang Surabaya tempat ia dan 2 orang anaknya tinggal untuk sementara, menuju posko lama Tzu Chi di Jalan Teuku Umar.
Hidup menjadi tidak mudah sejak Pen kehilangan istri dan 2 orang anaknya akibat bencana. Sampai saat ini, lewat 100 hari, ia masih sering mengenang kehidupan keluarganya yang harmonis. Kenangan inilah yang terus menyalakan harapannya untuk berkumpul dengan mereka kembali. Apalagi jenazah istri dan anak-anaknya belum ditemukan, hingga terselip harapan bahwa mereka masih hidup entah di mana. “Begitu ada waktu luang saya berusaha mencari keluarga saya dan informasi di mana mereka berada,” katanya bercerita. Salah satu upayanya dengan mengiklankan foto-foto mereka di harian lokal Aceh, Serambi Indonesia.

Suatu kali, seorang teman mangabarkan bahwa ada seorang anak korban tsunami yang ditemukan di daerah Pidie. Pen dipenuhi harapan bahwa itu adalah anak bungsunya. Meskipun tempat itu dikenal rawan konflik, ia menetapkan hati untuk menemui anak itu. Ditemani beberapa orang relawan Tzu Chi, Pen berangkat ke Pidie. Perjalanan selama 1,5 jam terasa lama sekaligus singkat. Segera setelah sampai di tempat yang ditunjukkan, dengan sigap Pen turun dari mobil dan berjalan cepat. Setelah menginjakkan kaki di rumah yang dituju, Pen menjelaskan maksud kedatangannya pada pemilik rumah. Pemilik rumah pun memanggil seseorang.

Dari dalam, seorang anak laki-laki berusia 2 tahunan berjalan keluar. Melihat anak itu, raut wajah Pen yang semula berseri berubah pasi, menyadari bahwa anak itu bukanlah anak yang dicarinya. Semua cahaya seperti padam seketika. Pen meraih tangan anak tersebut, di wajahnya terlihat jelas betapa besar harapannya bisa memeluk anak itu dan mengatakan bahwa anak itu adalah anak yang dirindukannya.

Kali ini Pen belum dapat menemukan anaknya. Namun harapannya masih tetap menyala dan ia masih terus mencari. Menahan rasa kecewanya, ia berkata, “Yah, namanya juga usaha, kalau Tuhan belum berkehendak, ya, sudahlah…”

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id